Planetarium Globe Kamera Antarkan Tri Agus Juara Inobel 2016

Oleh : Abdul Azis Muslim


Dari ketekunan mengajar maka melahirkan karya-karya yang masterpiece. Seperti yang dilakukan oleh Tri Agus Cahyono yang berhasil raihan tertinggi dalam lomba inovasi pembelajaran (Inobel) yang digelar oleh Kemendikbud Tahun 2016. Planetarium Globe Kamera (Bekam) mengantarkan guru asal Pacitan tersebut mampu merasakan kasta tertinggi perlombaan yang digelar tiap tahun tersebut.

Apa sih rahasianya? Dia mengaku hakikat sebuah karya inovasi adalah puncak dari proses belajar seseorang. Sesuai taksonomi Bloom yg telah direvisi oleh Krathwool Ada 6 tahapan berfikir kogniti yaitu 1. Mengingat (C1), 2. Memahami (C2), 3. Menerapkan (C3), 4. Menganalis (C4), 5. Mengevaluasi (C5), 6. Menciptakan (C6). “Dalam taksonomi tersebut Karya inovasi adalah sebuah tahapan puncak dari proses berfikir,” ucapnya.

Karena itu menurutnya ketika  seorang guru menginginkan sebuah karya inovasi yang baik, maka tidak boleh melewati tahapan2 tersebut. Agus memberikan tips agar bisa eksis di kompetisi Inobel maka anda harus belajar menguasai materi keilmuan dari karya tersebut. “Ketika final lomba Karya Inobel yg dinilai bukan sekedar bagaimana karya tersebut atau karya tulisnya tetapi yg paling penting dan lebih utama adalah bagaimana penciptanya/inovatornya yg akan ditelisik oleh dewan juri melalui presentasi dan tanya-jawab,” jelasnya.

Lebih jauh Guru SD Negeri Belik Tepus Kecamatan Tepus, Gunungkidul itu menjelaskan caranya bagaimana meningkatkan kualitas diri dan sekaligus menciptakan sebuah karya inovasi adalah dengan bekerja. “Belajar kita lakukan pada saat mengajar. Cara belajar paling baik adalah dengan mengajar,”tegasnya.

Proses menuju ke inovasi maka prosedurnya ketika guru melaksanakan pembelajaran berC1 sd C5 ada sebuah ketidakpuasan. Setelah belajar, mengingat, memahaminya, menerapkannya, menganalisisnya, maka tahapan selanjutnya yang harus dilakukan guru adalah mengevaluasinya baik dari sisi kekurangan dan kelebihan. “Disitulah rasa ketidakpuasan akan muncul. Dan daya cipta kita sebagai manusia ( kreativitas) akan muncul,” cetusnya.

Lebih jauh alumnus magister UNY ini menjelaskan bahwa kunci untuk membuat inovasi pembelajaran menggunakan prinsip "APIK" yaitu  Asli (jangan menjiplak), Perlu (benar2 dibutuhkan), Inovativ dan Konsisten.

Lalu apa sih media Planetarium Bekam yang mengantarkan Agus ke Jepang? Alat ini menurutnya merupakan hasil dari ketidak puasan terhadap media konvensional yg selama ini banyak digunakan guru yaitu globe. Menurutnya bertahun-tahun menggunakan tool tersebut dianggap sama saja dan tidak berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran.

“Anak tidak tertarik/kurang termotivasi dan prestasi belajar kurang memuaskan. Prestasi kurang lebih disebabkan kurangnya motivasi. Motivasi rendah lebih disebabkan materi bukan pada zona motivasi (jangkauan anak). Zona motivasi anak itu adalah sesuatu yg menantang namun bisa dikerjakan. Jadi jika materi terlalu sulit dan terlalu mudah maka dipastikan anak kurang termotivasi,” ungkapnya.

Lebih lanjut Agus mengungkapnya bahwa ketika menggunakan globe dalam pembelajaran IPA untuk menerangkan materi pergerakan Bumi & Bulan, anak dipaksa berfikir sangat abstrak. Inilah yang membuat guru yang setiap hari menempuh perjalanan 1,5 jam dari rumah ke sekolah tersebut memutar otak.

Jika memakai globe konvesional anak memperbandingkan globe yg diperagakan dengan lampu senter dan mengakomodasikan dengan kejadian sebenarnya antara Bumi, matahari, dan bulan sangat sulit. “Disinilah ketidakpuasan terhadap globe muncul. Kita analisis kelebihan dan kekurangan globe dalam menjelaskan materi tersebut,” jelasnya.

Melalui analisa maka ditemukan sejumlah kelebihan jika menggunakan globe biasa yaitu model yg paling sesuai, ada di sekolah, mudah digunakan. Kekurangannya yaitu tidak bisa menampilkan bagaimana kenampakan langit dari bumi saat diperagakan. Meskipun anak kelas 6 sudah mampu berfikir abstrak namun kemampuan tersebut masih terbatas. Khusus pada gerak semu atau bukan gerak sebenarnya anak sangat kesulitan untuk menerima konsep tersebut. Semisal Gerak semu harian matahari.

Kelebihan dari sebuah karya bukanlah dari sifat modern atau tradisionalnya tetapi lebih kepada kebermanfaatan, ide, dan kemudahan untuk digunakan dan direplika oleh orang lain. Meskipun karya berbasis TIK kelihatan lebih keren tetapi sulit untuk ditiru dibuat oleh guru lain atau sulit diaplikasikan di daerah-daerah tertentu maka nilainya akan kurang.

Kelemahan globe tadi adalah tidak bisa menampilkan bagaimana gerak semu matahari sehingga menjadi sulit bagi anak maka anak akan lemah motivasinya untuk terus belajar. Hal inilah yang perlu diselesaikan.

Dari aktifitas Bapak Agus dengan kamera sangat tinggi. Hampir setiap kegiatan saya rekam foto dan video. Ketika dia merekam video dengan kamera action cam misalnya menggunakannya dalam kondisi bergerak sedangkan obyek yang kita shot tidak bergerak maka ketika memutar videonya hasilnya benda yang dishot kelihatan bergerak padahal aslinya tidak bergerak dan kamera merupakan alat optik yang menyerupai kinerja mata. Sehingga beliau mempunyai ide memasang kamera pada globe sebagai pengganti mata pengamat.

“Itu ketika saya naik wahana cangkir (komedi putar) di Dufan. Perhatikan teko dalam video tersebut. Teko kondisi sebenarnya tidak bergerak. Keren banget  pasti siswanya  seneng dan motivasi akan timbul. Tetapi dalam video bergerak. Itulah yg bisa dimanfaatkan untuk menjelaskan gerak semu. Teko sebagai matahari sedangkan kamera adalah mata yg ada di bumi. Siswa lebih mudah memahami. Dan jadikan HP Bapak/Ibu sebagai kenampakan langit. Teko akan muncul dari samping kiri ke kanan dan menghilang. Nah itu mirip dengan gerak semu harian matahari,” bebernya.

Kemudian bagaimana supaya hal tersebut bisa ditampilkan di kelas. Disinilah kecerdikan Bapak Agus. Maka kamera yangg dipasang harus bisa live menampilkan kenampakan langit. Kamera dihubungkan ke laptop dan proyektor (LCD)disorotkan ke langit-langit  kelas. Maka jadilah planetarium bekam.

Tips agar bisa memenangkan lomba diutarakan Agus. Menurutnya pengendalian diri, agar tidak terjebak dalam sikap yang merugika penilaian juri. Semisal dalam menanggapi sanggahan atau masukan juri harus hati-hati dan tidak menyinggung. Membela diri dengan dengan kata-kata tersembunyi agar tidak terkesan rendah diri apalagi menyalahkan diri sendiri. Demikian sekelumit cerita pria asal Pacitan ini. Wow luar biasa ya cerita guru asal Jawa Timur ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membayangkan Seminggu Tidak Menulis Dipecat, Rahasia Sukses Profesor Richardus Eko Indrajit Menulis 75 Buku

PEDOMAN PEMBELAJARAN DAN INSTRUKSI PENDIDIKAN