Teguhkan dan Kembangkan BTQ Sebagai Mulok Khas Demak!

Oleh : Abdul Azis Muslim,M.Pd.*

 

Salah satu Pelajaran yang masuk kategori muatan lokal (mulok) dengan kekhasan di Demak adalah Baca Tulis Qur’an (BTQ). Mulok ini sudah sepantasnya diperjuangkan dan dipertahankan serta terus dikembangkan. Apalagi dengan tantangan zaman yang semakin kompleks dibutuhkan mapel yang bisa meneguhkan dan memberi pencerahan hidup bagi manusia dalam mengarungi kerasnya kehidupan di era modern.

Perlu dipahami, sejak tahun 2011 melalui Peraturan Bupati (Perbup) nomor 423.5/290/2011 yang ditandatangi Bupati Demak saat itu, Bapak Tafta Zani, telah mengakomodir mapel BTQ. Dengan berlakunya perbup ini maka tentu menjadi penanda bahwa Pelajaran BTQ wajib ada dan harus diajarkan pada sekolah-sekolah di wilayah Demak.

Dalam perbup tersebut dijelaskan bahwa penambahan jam Pelajaran BTQ yang disebut sebagai muatan lokal diterapkan pada setiap jenjang satuan pendidikan dengan durasi waktu satu jam Pelajaran. Jika membaca ini maka bisa disebut setiap sekolah sifatnya ‘fardu’ mengalokasikan waktu kegiatan KBM dengan penambahan BTQ tanpa terkecuali.

Namun di lapangan ternyata masih ditemukan sekolah yang belum sepenuhnya mengajarkan  BTQ secara mandiri, sebagaimana diperintahkan di aturan tersebut. Salah satu permasalahan yang ada dan nyata, yang hingga saat ini belum mampu diselesaikan adalah masih adanya sekolah negeri yang mengajarkan BTQ digabung dengan mapel PAI BP.

Maksudnya bagaimana? Begini penjelasannya. BTQ selaku mulok, posisinya berdiri sendiri karena bersifat lokal dan diatur dengan perbup. Sementara, dalam struktur kurikulum nasional, posisi mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (BP) berdiri sendiri dengan durasi waktu setiap minggu diajarkan selama tiga jam. Bahkan perjuangan untuk mendapatkan tiga jam tidak mudah. Untuk mendapatkannya membutuhkan perjuangan yang berdarah-darah.  

Maka jika masih ada sekolah yang mengajarkan mapel PAI BP dan BTQ dijadikan satu (include) maka dipastikan ini melanggar aturan yang ada. Modusnya adalah sekolah mengajarkan PAI BP yang seharusnya tiga jam dikurangi menjadi dua jam. Dua jam untuk materi PAI BP dan satu jam diisi materi BTQ.

Kondisi ini tentu saja memunculkan ketidakmaksimalan dalam KBM. Satu sisi PAI BP juga membutuhkan waktu yang cukup karena harus menyelesaikan aneka materi yang banyak. Sementara alokasi waktu yang tersedia hanya tiga jam pelajaran. Jika dikonkritkan di SMP waktu satu jam Pelajaran adalah 40 menit. Jika dikalikan tiga maka dalam satu minggu hanya PAI BP idealnya diajarkan selama 120 menit. Jika 120 kemudian dikurangi 40 menit untuk dimanfaatkan materi BTQ, maka dipastikan ada materi-materi PAI BP yang hilang atau tidak tersampaikan ke peserta didik karena tergerus materi BTQ.

Permasalahan lain yang tidak kalah pelik adalah jumlah jam yang diakui oleh Kemenag sebagai pengelola yang berhubungan dengan sertifikasi guru PAI BP maksimal hanya 2 jam saja, meskipun dalam kenyatannya mengajar rombel lebih dari dua kelas. Kondisi ini tentu saja menjadi beban tersendiri bagi guru PAI BP yang ingin mengajar BTQ. Akibatnya di lapangan ditemukan pengampu mapel BTQ tidak melulu berasal dari latar belakang guru PAI BP. Terkadang guru mapel lain juga mengampu BTQ meskipun tentu saja harus memiliki kemampuan baca tulis al-Qur’an.

Dengan melihat permasalahan di lapangan seperti itu, maka sudah seharusnya MGMP BTQ  SMP dan MGMP PAI di Kabupaten Demak bersama-sama mencarikan solusi atas masalah ini. Ke depan bagaimana jam PAI BP yang ada bisa dimaksimalkan untuk materi PAI BP saja tanpa diganggu dengan penggabungan dengan BTQ. Sementara BTQ yang sudah diatur tersendiri di Perbup Demak juga bisa berdiri sendiri bahkan kalau perlu jamnya ditambah satu jam karena dalam kenyataannya di lapangan berdasarkan keluhan guru BTQ, waktu satu jam dirasakan tidak memadai untuk menyelesaikan materi-materi BTQ.

Eksistensi BTQ di sekolah wajib dipertahankan bahkan kalau perlu ditambah dengan penambahan jam Pelajaran bahkan dilakukan upaya sistematis untuk memaksimalkan BTQ agar memberikan kekhasan kota Demak sebagai kota religius bisa dipertahakan dan dikembangkan. Semoga saja. Insya Allah. Aaamiin.

 

*Penulis saat ini mengabdi di SMP Negeri 1 Wedung

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membayangkan Seminggu Tidak Menulis Dipecat, Rahasia Sukses Profesor Richardus Eko Indrajit Menulis 75 Buku

PEDOMAN PEMBELAJARAN DAN INSTRUKSI PENDIDIKAN