Kesiapan Guru di Era Revolusi Industri 4.0.


Oleh: Abdul Azis Muslim, M.Pd.*

Tidak terasa kita sekarang di penghujung akhir industri 3.0 dan akan memulai perjalanan transisi menuju perubahan industri yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Revolusi industri ketiga telah mengubah wajah kehidupan kita sekarang ini. Manusia bisa menikmati hari dengan enjoy berkat bantuan teknologi canggih. Pintu-pintu terbuka dengan sendirinya. Tanpa kita lelah, bak air juga bisa terisi penuh cukup dengan menekan tombol on pompa air dan masih banyak lagi contoh produk revolusi industri ketiga.
Bayangkan jika kita akan berangkat menuju tempat kerja, kita tidak perlu bersusah payah memanggil sopir kita karena cukup dengan gawai, mobil tersebut sudah siap mengantar ke kantor. Selama diperjalanan, kita pun dengan leluasa mengakses informasi terbaru melalui layar kaca mobil anda. Dan hebatnya dengan santai anda bisa menikmati mobil tanpa goncangan berarti  dengan kemampuan oto-driving tanpa berhenti karena lampu lalu lintas. Inilah gambaran tentang “revolusi industri 4.0”. Lalu seperti apa kesiapan kita sebagai guru di masa super canggih itu?
Diakui atau tidak pendidikan tetaplah menjadi garda depan perubahan suatu bangsa. Susah untuk mengatakan bahwa pendidikan tidak penting. Dari sejumlah penelitian telah terbukti bahwa faktor pendidikan menentukan kemajuan dan kesuksesan suatu bangsa di dunia. Jepang dan Finlandia disebut-sebut menjadi negara yang sukses dalam mengembangkan sumber daya manusia melalui pemanfaatan proses pembelajaran.
Konon, pada saat kota Hiroshima dan Nagasaki  dihajar bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu, Kaisar Hirohito bukan khawatir masalah kerusakan fisik yang timbul akibat bom tersebut, tetapi justru menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Saat ada yang menjawab sekitar 250 ribu guru, Hirohito pun optimis bahwa Jepang bisa melalui situasi yang buruk dan akan menjadi bangsa yang disegani. Sebuah pilihan jitu yang terbukti sukses membawa negeri matahari tersebut menjadi negara kategori maju.
Maka tidak salah jika negara Jepang tidak terlalu lama untuk bisa melaju kencang dan menjadi salah satu ikon negara sukses dan hebat di dunia sekarang. Dari tangan-tangan guru itulah para pemimpin dan penerus bangsa dilahirkan. Dengan demikian hitam putihnya suatu bangsa secara tidak langsung ditentukan oleh sentuhan guru terhadap para pemudanya. Semakin berkualitas gurunya maka semakin berkualitas pemudanya. Maka benar sekali kata mutiara yang disampaikan oleh sahabat nabi Muhammad Ali bin Abi Thalib bahwa di tangan pemudalah kejayaan suatu kaum.
Seiring dengan batasan antar negara tidak lagi menjadi hambatan dengan hadirnya teknologi khususnya teknologi komunikasi yang sering disebut era globalisasi. Kondisi ini juga menjadi tantangan dan hambatan bagi guru di Indonesia.  Karena itu sudah menjadi keharusan zaman sekarang bahwa seorang guru di masa depan harus jeli dan cerdas mengikuti perkembangan yang terjadi jika tidak ingin profesi guru tergantikan oleh yang lain.
Suka tidak suka, zaman pasti berubah. Perubahan itu merupakan suatu keniscayaan. Prinsip dasar inilah yang harus menjadi panduan para pendidik sekarang. Kunci untuk menang dan sukses di era disruptif sekarang ini tidak lain adalah inovasi. Bagaimana seorang guru harus memacu dan memancing siswanya untuk berpikir kreatif dan inovatif.
Menurut Daniel Bell, kecenderungan di era globalisasi dunia ditandai dengan lima kecenderungan, antara lain: 1) integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam segala bidang, terutama dalam dunia pendidikan. 2) fragmantasi politik yang menyebabkan terjadinya peningkatan tuntutan dan harapan dari masyarakat. 3) menggunakan teknologi tinggi (high technology) khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK). 4) interpendensi (saling tergantungan) yaitu suatu keadaan dimana seseorang baru dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain.
Pendidikan harus menjadi motor penggerak untuk menangkap zaman. Jangan sampai guru justru ditinggal oleh anak didiknya karena siswa sudah selangkah lebih mau dibandingkan dengan peserta didik. Maka untuk menghadapi era industri 4.00, kuncinya tidak lain adalah kesiapan guru untuk belajar dan beradaptasi dengan perubahan itu.
Guru harus belajar dengan cepat untuk menangkap aspirasi zaman yang terus bergerak. Revolusi industri 4.0 mensyaratkan peserta didik untuk bisa berdampingan dengan teknologi robot. Maka guru pun sudah mulai mengenalkan anak didiknya dengan hard skill dan soft skill. Kemampuandasar ituyang wajib dikenalkan kepada siswa kita diantaranya berpikir out of the box.
Mengenalkan anak didik dengan pola pikir non linier, bisa membantu siswa kelak setelah keluar dari ruang sekolah mampu mengatasi berbagai loncatan dan kejutan zaman. Mereka tidak asing dengan teknologi yang bergonta ganti. Prinsipnya, pendidikan harus memberikan pola dasar berpikir anak didik tidak monoton tapi dinamis dan progresif. Jangan lagi membatasi pemikiran anak dengan hal yang tidak rasional tapi pandulah anak didik kita menjadi manusia tanggap terhadap lingkungan.
Maka sudah sangat tepat sebetulnya pepatah orang Jawa yang mengatakan bahwa menungso (baca : manusi) ora oleh gumunan karo kagetan ( baca : terheran-heran dan terkejut). Maksudnya filosofi tersebut memberikan gambaran bahwa manusia tidak boleh terkejut dengan perubahan dan situasi yang terjadi karena perubahan pasti terjadi.
Maka jika seorang guru yang tidak mampu menangkap jaman yang terus berubah menuju era robotisasi, maka bersiaplah bahwa guru-guru di masa depan justru akan diisi oleh robot. Maka tidak ada jalan lain bagi para pendidik untuk terus mengasah skill, agar guru kelak selalu menjadi profesi abadi sepanjang masa. Guru terus dicintai dan dinantikan kehadirannya di kelas-kelas sambil tetap berdampingan dengan mesin-mesin otomatis.  Semoga.
*Penulis adalah Guru SMP Negeri 1 Wedung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membayangkan Seminggu Tidak Menulis Dipecat, Rahasia Sukses Profesor Richardus Eko Indrajit Menulis 75 Buku

PEDOMAN PEMBELAJARAN DAN INSTRUKSI PENDIDIKAN