IPTEK, KEBUDAYAAN DAN AGAMA
Oleh : Abdul Azis Muslim
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi “baca Iptek” melampaui perkiraan siapapun. Hal
ini sudah diprediksi oleh Alvin Tofler seorang futurolog. Menurutnya
akan datang suatu era di mana informasi akan menjadi tulang punggung
masyarakat.
Menurut Toffler
masa depan adalah sebuah gelombang perubahan. Setiap kali gelombang perubahan
yang tunggal menguasai suatu masyarakat tertentu maka pola perkembangan masa
depannya relatif untuk diamati. Sebaliknya, bila suatu masyarakat sedang dilanda
dua atau lebih gelombang perubahan besar dan belum jelas yang mana yang
dominan, maka citra manusia masa depan itu menjadi retak.[1]
Saat ini batas-batas dunia
seperti tidak ada. Bagaimana tidak seseorang dengan hitungan hari bahkan jam
bisa melihat kondisi wilayah di belahan manapun dengan teknologi internet.
Kondisi demikian terjadi karena peranan teknologi yang di dukung oleh para
ilmuwan.
Teknologi juga membawa
dampak yang luar bisa bagi kebudayaan manusia, baik sifatnya positif maupun
negatif. Dengan teknologi informasi, maka manusia menjadi unggul. Disisi lain
dengan adanya teknologi justru sebagian manusia terjerumus pada praktek
perusakan lingkungan seperti penambangan tambang liar, ilegal fishing,
dan perusakan lingkungan lainnya.
Disamping merusak alam,
perkembangan teknologi yang makin maju membuat hubungan manusia dengan manusia
lain makin menjauh. Contoh budaya silaturahim dengan berkunjung ke sanak famili
makin jarang digantikan peran suara melalui ponsel. Nilai kemanusiaan mulai terdegradasi.
Karena itulah maka era
sekarang agama akan menjadi fungsi penyeimbang. Fungsi religius akan bekerja karena
agamalah manusia akan mengakui bahwa masih ada kekurangan yang tidak bakal
digantikan oleh peran ilmu pengetahuan, teknologi maupun kebudayaan yang maju.
Aspek ruhani tetap menjadi kekuatan yang mengatasi keangkuhan manusia sehingga
akan kembali ke jalan yang benar. Agama akan menjawab kerinduan manusia
mengenai kedamaian, kebahagian dan lainnya yang tidak ditemukan dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan kebudayaan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah kami ini
akan mencoba mengurai dua masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan,
teknologi, kebudayaan dan agama
1. Pengertian ilmu
pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan agama
2. Hubungan ilmu pengetahuan,
teknologi, kebudayaan dan agama
C. Pengertian Ilmu
Pengetahuan, Teknologi, Kebudayaan dan Agama
1. Pengertian Ilmu
Pengetahuan
Dalam kamus Bahasa
Indonesia yang telah disempurnakan, yang dimaksud Ilmu Pengetahuan adalah
suatu bidang yang disusun yang sistematis berdasarkan metode tertentu, untuk
dapat dimanfaatkan sebagai penjelas gejala tertentu.[2]
Menurut “ensiklopedia Indonesia” ilmu
pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing
didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti
dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan prinsipnya
merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common
sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan
dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara
cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.[3]
Ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science ,
yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata
kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Ilmu
pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang rasional,
sistematik, logis, dan konsisten.[4]
Menurut T. Jacob, ilmu
pengetahuan adalah suatu institusi kebudayaan suatu kegiatan manusia untuk
mengetahui dirinya sendiri dan alam sekitarnya dengan tujuan untuk mengenal
manusia sendiri dan perubahan-perubahan yang dialami serta mengenal lingkungan
dan perubahan-perubahannya.[5]
Sementara menurut Habermas
sebagaimana dikutip Hardiman menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah
satu bentuk pengetahuan yang yang direfleksikan secara metodis.[6]
Dari berbagai pendapat
penulis mencoba mengambil pendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu
bidang yang berasal dari berbagai pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil
dari suatu gejala yang dianalisa dan diperiksa secara teliti dengan menggunakan
metode metode tertentu (secara rasional, sistematik, logis, dan konsisten)
sehingga didapat penjelasan mengenai gejala yang bersangkutan.
Menurut B.F. Skinner, ilmu
pengetahuan mempunyai aturan main sendiri. Didalamnya mengandung seperangkat
perilaku yang ketat dan taat asas. Disamping itu ilmu pengetahuan juga menolak
untuk diintervensi termasuk dengan dalih kebijaksanaan. Ilmu pengetahuan hanya
menerima fakta tidak yang lain.
“Science is first of all a set of attitudes. It is a disposition to deal
with the facts rather than what someone has said about them. Science is willingness
to accept fact even when they opposed to wishes”.[7]
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis
artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya menjelaskan setiap gejala selalu
berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai
sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu
sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap
proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep
ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu
pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a)
Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena
atau fakta yang biasanya disampaikan dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar
dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
b)
Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam
menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat
kata yang didefinisikan.
c) Hipotesis
Dari konsep
ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua)
pernyataan digabung menjadi proposisi.
Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya
disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang
tidak bertentangan satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut
teori.
2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran
suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju
rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala
konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis.
Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya
matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran
suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus menuju rumus umum atau teori.
Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu
statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu pengetahuan alam dan
sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan
cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode
ini adalah ilmu bahasa (linguistik).
3) Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak
(intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri,
bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek
(pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus
ditopang oleh komunitas ilmiah.
2. Pengertian Teknologi
Sementara itu pengertian teknologi
adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi
kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.[11] Istilah teknologi berasal dari bahasa Yunani
“technologia” yang menurut Webber Dictionary berarti “systematic
treatment” atau penanganan sesuatu secara sistematis. Sedangkan “techne”
kata dasar teknologi berarti “art, skill, science” atau keahlian,
ketrampilan ilmu.[12]
Penggunaan
teknologi oleh manusia diawali dengan pengubahan sumber daya alam menjadi
alat-alat sederhana. Penemuan prasejarah tentang
kemampuan mengendalikan api telah
menaikkan ketersediaan sumber-sumber pangan, sedangkan penciptaan roda telah membantu manusia dalam beperjalanan dan mengendalikan
lingkungan mereka. Perkembangan teknologi terbaru, termasuk di antaranya mesin cetak, telepon, dan Internet, telah
memperkecil hambatan fisik terhadap komunikasi dan
memungkinkan manusia untuk berinteraksi secara bebas dalam skala global.
Tetapi, tidak semua teknologi digunakan untuk tujuan damai; pengembangan senjata penghancur
yang semakin hebat telah berlangsung sepanjang sejarah, dari pentungan sampai senjata nuklir.[13]
Teknologi telah
memengaruhi masyarakat dan sekelilingnya dalam banyak cara. Di banyak kelompok
masyarakat, teknologi telah membantu memperbaiki ekonomi (termasuk ekonomi
global masa kini) dan telah memungkinkan
bertambahnya kaum senggang. Banyak proses teknologi menghasilkan produk sampingan yang tidak
dikehendaki, yang disebut pencemar, dan menguras
sumber daya alam, merugikan dan merusak Bumi dan lingkungannya. Berbagai macam penerapan teknologi telah memengaruhi nilai suatu masyarakat dan teknologi baru.
Sebagai contoh,
meluasnya gagasan tentang efisiensi dalam konteks
produktivitas manusia, suatu istilah yang pada awalnynya hanya menyangkut
permesinan, contoh lainnya adalah tantangan norma-norma tradisional.[14]
Bahwa keadaan
ini membahayakan lingkungan dan mengucilkan manusia; penyokong paham-paham
seperti transhumanisme dan tekno-progresivisme memandang proses teknologi yang berkelanjutan sebagai hal yang
menguntungkan bagi masyarakat dan kondisi manusia. Tentu saja, paling sedikit
hingga saat ini, diyakini bahwa pengembangan teknologi hanya terbatas bagi umat
manusia, tetapi kajian-kajian ilmiah terbaru mengisyaratkan bahwa primata lainnya dan
komunitas lumba-lumba tertentu telah mengembangkan alat-alat sederhana dan belajar untuk
mewariskan pengetahuan mereka kepada keturunan mereka.[15]
Penggunaan
istilah 'teknologi' (bahasa Inggris: technology)
telah berubah secara signifikan lebih dari 200 tahun terakhir. Sebelum abad
ke-20, istilah ini tidaklah lazim dalam bahasa Inggris, dan biasanya merujuk
pada penggambaran atau pengkajian seni terapan. Istilah ini seringkali
dihubungkan dengan pendidikan teknik, seperti di Institut
Teknologi Massachusetts (didirikan
pada tahun 1861). Istilah technology mulai menonjol pada abad ke-20
seiring dengan bergulirnya Revolusi Industri Kedua.
Pengertian technology berubah pada permulaan abad ke-20 ketika para
ilmuwan sosial Amerika, dimulai oleh Thorstein
Veblen, menerjemahkan gagasan-gagasan dari
konsep Jerman, Technik, menjadi technology.[16]
Pada dasawarsa
1930-an, technology tidak hanya merujuk pada 'pengkajian' seni-seni
industri, tetapi juga pada seni-seni industri itu sendiri. Pada tahun 1937, seorang
sosiolog Amerika, Read Bain, menulis bahwa technology includes all tools,
machines, utensils, weapons, instruments, housing, clothing, communicating and
transporting devices and the skills by which we produce and use them
("teknologi meliputi semua alat, mesin, aparat, perkakas, senjata,
perumahan, pakaian, peranti pengangkut/pemindah dan pengomunikasi, dan
keterampilan yang memungkinkan kita menghasilkan semua itu").[17]
Secara umum,
teknologi dapat didefinisikan sebagai entitas, benda maupun tak benda yang
diciptakan secara terpadu melalui perbuatan dan pemikiran untuk mencapai suatu
nilai. Dalam penggunaan ini, teknologi merujuk pada alat dan mesin yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah di dunia nyata. Ia adalah istilah
yang mencakupi banyak hal, dapat juga meliputi alat-alat sederhana, seperti linggis atau sendok kayu, atau mesin-mesin yang rumit, seperti stasiun luar
angkasa atau pemercepat
partikel. Alat dan mesin tidak mesti
berwujud benda; teknologi virtual, seperti perangkat lunak dan metode bisnis, juga termasuk
ke dalam definisi teknologi ini.[18]
Kata
"teknologi" juga digunakan untuk merujuk sekumpulan teknik-teknik.
Dalam konteks ini, ia adalah keadaan pengetahuan manusia saat ini tentang
bagaimana cara untuk memadukan sumber-sumber, guna menghasilkan produk-produk
yang dikehendaki, menyelesaikan masalah, memenuhi kebutuhan, atau memuaskan
keinginan; ia meliputi metode teknis, keterampilan, proses, teknik, perangkat,
dan bahan mentah. Ketika dipadukan dengan istilah lain, seperti "teknologi
medis" atau "teknologi luar angkasa", ia merujuk pada keadaan
pengetahuan dan perangkat disiplin pengetahuan masing-masing. "Teknologi state-of-the-art"
(teknologi termutakhir, sekaligus tercanggih) merujuk pada teknologi tinggi
yang tersedia bagi kemanusiaan di ranah manapun.[19]
Teknologi dapat
dipandang sebagai kegiatan yang membentuk atau mengubah kebudayaan. Selain itu,
teknologi adalah terapan matematika, sains, dan berbagai seni untuk faedah
kehidupan seperti yang dikenal saat ini. Sebuah contoh modern adalah bangkitnya
teknologi komunikasi, yang memperkecil hambatan bagi interaksi sesama manusia, dan
sebagai hasilnya, telah membantu melahirkan sub-sub kebudayaan baru; bangkitnya
budaya dunia maya yang berbasis
pada perkembangan Internet dan komputer.[20]
Teknologi seringkali
merupakan konsekuensi dari ilmu dan rekayasa — meskipun teknologi sebagai
kegiatan manusia seringkali justru mendahului kedua-dua ranah tersebut. Misalnya, ilmu
dapat mengkaji aliran elektron di dalam penghantar listrik, dengan menggunakan peralatan dan pengetahuan
yang telah ada sebelumnya. Pengetahuan yang baru ditemukan ini kemudian dapat
digunakan oleh para insinyur dan teknisi untuk menciptakan peralatan dan
mesin-mesin baru, seperti semikonduktor, komputer, dan
bentuk-bentuk teknologi tingkat lanjut lainnya. Dalam cara pandang seperti ini,
para ilmuwan dan rekayasawan kedua-duanya dapat dipandang sebagai
"teknolog"; ketiga-tiga ranah ini seringkali dapat dipandang sebagai
satu untuk tujuan penelitian dan referensi.[21]
3. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari
Bahasa Sansekerta yaitu buddayah merupakan bentuk jamak dari buddi (budi
atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam Bahasa Inggris kebudayaan
disebut culture yang berasal dari kata latin colere yang artinya
mengolah atau mengerjakan. [22]
Sementara itu menurut E.B.
Taylor sebagaimana dikutip oleh Jujun S. Suriasumantri Kebudayaan bisa
diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat.[23]
Menurut Andreas Eppink
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, relegius, dan
lain-lain.[24]
Menurut Selo Soemardjan
dan Soelaiman Soemardi kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.[25]
Sementara menurut Ahmad D. Marimba, kebudayaan adalah segala sesuatu yang
diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[26]
Dari berbagai definisi di
atas menurut penulis mengartikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem yang
bersifat lahir dan batin yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat.
Sifatnya abstrak jika berkaitan dengan pola pikir. Sementara bersifat konkret
jika sudah merupakan hasil atau produk atau karya manusia.
Menurut Koentjaraningrat unsur-unsur kebudayaan yang ada
di dunia ini adalah; sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian
hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.[27]
4. Pengertian Agama
Sementara itu definisi
dari agama menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah ajaran, sistem yang
mengatur tata keimanan /kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia
serta lingkungannya. [28]
Agama juga diartikan
sebagai koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya dan pandangan
dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan.[29]
Menurut M. Hasbi
Ash-Shidiqy sebagaimana dikutip Marimba pengertian agama adalah aturan-aturan
dari Tuhan Yang Maha Esa untuk petunjuk kepada manusia agar dapat selamat dan
sejahtera atau bahagia baik di dunia dan akhirat dengan petunjuk-petunjuk-Nya
serta teladan pekerjaan nabi-nabi beserta kitab-kitab-Nya.[30]
Sementara itu menurut
Harun Nasution sebagaimana dikutip Jalaludin, agama berasal dari al-Din yang
berasal dari Bahasa Arab artinya menguasai, menundukkan, patuh, kebiasaan.
Sedangkan religi yang asalnya dari Bahasa Latin “Relegere” mempunyai arti
mengumpulkan dan membaca. Sedangkan agama sendiri berasal dari kata a= tidak,
gam= pergi artinya tidak pergi atau tetap ditempat.[31]
Bertolak dari inilah Harun
Nasution mendefenisikan agama sebagai suatu ikatan. Ikatan yang dimaksud
berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dan tidak bisa ditangkap oleh panca
indera manusia namun mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari
manusia.
Robert H. Thouless menerangkan
bahwa agama adalah sikap atau cara penyesuaian diri terhadap dunia yang
mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan yang lebih luas daripada lingkungan
fisik yang terikat ruang dan waktu.[32]
Menurut Emile Durkheim
agama adalah merupakan sistem yang terpadu terdiri dari keyakinan dan praktek
yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan menyatukan penganutnya dalam
suatu komunitas moral. Menurut Drikarya definisi agama adalah keyakinan adanya
suatu kekuatan supranatural yang mengatur dan menciptakan alam dan isinya.[33]
D. Hubungan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, Kebudayaan dan Agama
Perkembangan teknologi
telah membawa perubahan besar bagi peradaban manusia. Apalagi ditengah situasi
global yang ditandai dengan batas-batas sekat antar negara yang makin kabur,
akibat arus informasi melalui jaringan teknologi internet. Kejadian di belahan
dunia lain bisa dilihat di negara lain pula tanpa harus menunggu hari.
Menurut Brameld
sebagaimana dikutip oleh Imam Barnadib bahwa peningkatan teknologi dan ilmu
pengetahuan telah membawa impact terhadap perubahan dan perkembangan
masyarakat, kebudayaan dan pendidikan.[34]
Kebudayaan sebagai hasil
dari olah pikir manusia dalam berbagai bentuk mengalami perubahan. Hal ini
dipengaruhi oleh manusia sebagai subyek perubahan maupun lingkungan di sekitar
manusia. Perubahan bisa positif maupun negatif.
Manusia mempunyai
kebutuhan yang banyak. Agar dapat memenuhi kebutuhan ini tidak cukup dengan
naluri semata, melainkan juga membutuhkan akal yang sudah dianugerahkan oleh
Allah. Oleh karena itu manusia harus berupaya semaksimal mungkin menggunakan
akal tersebut.
Maka bisa dikatakan
kebudayaan lahir dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia yang berkembang dan
berubah sejak dulu hingga sekarang bahkan kebudayaan digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan hidup di masa depan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan fenomena
kebudayaan. Hal itu bisa dilihat dari proses dan wujud dari ilmu pengetahuan
dan teknologi tersebut. Dari segi proses keduanya merupakan refleksi kejiwaan
dari potensi dasar manusia yaitu jiwa, rasa dan karsa. Ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan unsur budaya yang menjadi kekuatan dinamik dari kebudayaan
dan kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri.[35]
Berdasarkan pengertian dari sejumlah ahli yang telah
disebutkan di atas misalnya Koentjoroningrat, E.B. Taylor, bisa ditarik sebuah
titik temu antara ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi bisa disebut unsur dari kebudayaan.
Kemudian antara ilmu dan teknologi ada hubungan timbal
balik, yaitu ilmu pengetahuan menjadi sarana munculnya teknologi. Sementara
dengan teknologi mempunyai fungsi memberi sarana untuk memperkaya dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ilmu dan pengetahuan juga
menambah dan melengkapi sistem kebudayaan yang sudah ada.
Lalu pertanyaan selanjutnya,
bagaimana hubungan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dengan agama?
Perdebatan yang selama ini
menghiasi dalam diskusi maupun perdebatan ilmiah lainnya dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan harus objektif. Ranah agama dianggap tidak masuk kriteria menurut
pandangan Barat. Sementara ilmuwan muslim menganggap bahwa unsur di luar
manusia dan alam bisa masuk dalam kategori ilmu pengetahuan.
Menurut Noeng Muhadjir,
bahwa kebenaran empirik etik memerlukan akal budi untuk menjelaskan serta
berargumentasi. Akal budi menurut beliau bahwa manusia memerlukan kriteria
lebih tinggi lagi dari sekedar “true or false”. [36] Salah
satu nilai moral itu adalah agama. Bahkan menurut Muhadjir agama merupakan
nilai moral tertinggi.
Lebih lanjut Muhadjir
menjelaskan bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari
pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis ataupun
dalam membuat kesimpulan.
Awal mulanya memang awal
perkembangan sains modern telah terjadi perpecahan antara kaum agamawan dan
ilmuwan. Ini ditandai dengan sikap keras agamawan Eropa (penganut geosetris
yang mengatakan bahwa bumi menjadi pusat gravitasi planet-planet) kepada para
ilmuwan diantara Kepller, Gallileo, Copernicus dan penganut paham heliosentris.
Kini ada kecenderungan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama telah, sedang dan akan memegang
peran besar dalam kehidupan manusia.[37]
Agama sebagai bentuk
keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrati (supernatural)
ternyata menyertai manusia dalam ruang lingkup yang luas. Agama memiliki
nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam
hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi
dampak dalam kehidupan sehari-hari.[38]
Sains merupakan anugerah
dari Allah SWT yang tidak bernilai. Dengan ilmu pengetahuan maka manusia bisa
mendapatkan kebenaran secara obyektif. Penerapan sains dalam dunia modern
memang diakui telah banyak menghasilkan banyak teknologi yang bermanfaat tapi sekaligus
ada juga yang tidak bermanfaat dalam kehidupan manusia.
Kondisi di atas disebabkan
adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang
tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri, yang terpisah
antara satu dan lainnya, baik dari objek formal maupun material, metode
penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status
teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Ilmu tidak
mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu.[39]
Selama ini menurut
sebagian kalangan ilmuwan cenderung otonom karena merasa bahwa lewat ilmu
pengetahuanlah didapatkan satu-satunya kebenaran yang objektif akibatnya ada
gesekan antara sains dan agama. Padahal menurut penulis sains sifatnya
realitias objektif manusia dan alam. Sementara agama justru berbicara secara
integral, baik itu alam, manusia maupun di luar yang bisa dijangkau manusia
yaitu alam gaib.
Apalagi Manusia dimasa depan adalah manusia yang konsumtif
dengan keserakahan yang luar biasa. Digambarkan oleh Toffler bahwa tidak pernah
terjadi sebelumnya, bahwa suatu peradaban telah menciptakan kerusakan yang
begitu parah dan hebat, bukan saja terhadap kota, tetapi terhadap planit ini.
Tidak pernah samudra luas menghadapi keracunan air laut, spesi-spesi punah
dalam sekejab mata dari permukaan bumi sebagai akibat keserakahan dan
kecerobohan manusia, tidak pernah perut bumi dikuras dan dirusak oleh galian tambang-tambang
seperti sekarang ini ; tidak pernah zat penyemprot erosol mencemarkan
lapisan-lapisan udara murni, ataupun termopolusi mengancam iklim planit ini,
semua ini terjadi secara besar-besaran di zaman industri ini.
Konsep peradaban menurut Toffler adalah peradaban dimana teknologi mengambil peranan lebih besar dibanding dengan keberadaan manusia.[40]
Konsep peradaban menurut Toffler adalah peradaban dimana teknologi mengambil peranan lebih besar dibanding dengan keberadaan manusia.[40]
Eksistensi
manusia akan digantikan dengan eksistensi teknologi sebagai jalan menuju
peradaban baru. Manusia akan menjadi budak dari teknologi itu sendiri.
Karena persoalan hidup yang semakin kompleks dan dengan tekanan teknologi yang semakin mendesak, akhirnya manusia bekerja fulltime. Walaupun terkesan menghibur, tetapi dengan menggunakan teknologi yang sangat menegangkan saraf, secara cepat akan terjadi kemunduran mental. Kemunduran mental ini sering dimulai dengan rasa lelah. Kemudian muncul kebingungan dan keadaan cepat tersinggung. Orang itu menjadi amat peka terhadap rangsangan sekecil apapun di sekitarnya. Ia langsung ”mengamuk” oleh provokasi yang remeh. Ia menunjukkan tanda kehilangan akal.[41]
Karena persoalan hidup yang semakin kompleks dan dengan tekanan teknologi yang semakin mendesak, akhirnya manusia bekerja fulltime. Walaupun terkesan menghibur, tetapi dengan menggunakan teknologi yang sangat menegangkan saraf, secara cepat akan terjadi kemunduran mental. Kemunduran mental ini sering dimulai dengan rasa lelah. Kemudian muncul kebingungan dan keadaan cepat tersinggung. Orang itu menjadi amat peka terhadap rangsangan sekecil apapun di sekitarnya. Ia langsung ”mengamuk” oleh provokasi yang remeh. Ia menunjukkan tanda kehilangan akal.[41]
Untuk mengatasi
permasalahan ini sebetulnya bisa cairkan. Dengan menggunakan pendekatan yang
ditawarkan oleh Ian G. Barbour bisa dipertemukan antara agama dan ilmu
pengetahuan.
Menurut Barbour, ada empat
varians hubungan antara agama dan sains yaitu : konflik, independensi, dialog
dan integrasi.[42]
Dalam hubungan konflik, agama dan sains saling mengklaim kebenaran
masing-masing. Sementara dalam hubungan independensi, keduanya saling mengakui
meski tidak ada titik temu. Sedangkan dalam hubungan dialog, sains dan agama
mengakui ada beberapa kesamaan yang bisa dicairkan lewat jalan dialog antara
ilmuwan dan agamawan. Terakhir, hubungan antara sains dan agama bersifat
integrasi.
Barbour menjelaskan bahwa
dalam hubungan integrasi ini, dipilah menjadi dua kategori yaitu teologi
natural dan teologi alam. Pada kategori teologi natural, teologi mencari
dukungan penemuan-penemuan ilmiah. Sedangkan pada teologi alam, pandangan
teologis mengenai alam harus diubah dan disesuaikan dengan penemuan-penemuan
mutkahir tentang alam.
Ada pandangan menarik dari
Syek Tantawi Jauhari seorang tokoh mufassir ‘ilmi. Dia membuat perumpamaan
bahwa umat Islam dengan umat yang lain bagaikan rombongan yang akan pergi jauh
menuju suatu tujuan. Sebagian rombongan naik kuda, keledai. Sementara rombongan
lainnya menggunakan kereta bahkan pesawat. Kelompok pertama tidak mau
menggunakan pesawat dengan alasan tidak mau meninggalkan tradisi orang tua
mereka. Sedangkan kelompok yang kedua beralasan bahwa kita harus mempergunakan
akal pikiran untuk memilih yang lebih baik dan lebih sempurna.[43]
Dalam realitas saat ini
umat Islam harus mengakui bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan
masih di belakang dunia Barat. Masyarakat muslim hanya menjadi konsumen[44]
sementara Barat justru dengan keunggulan science menjadi produsen yang
setiap saat bisa mempermainkan pasar global.
Hubungan
antara agama dan ilmu pengetahuan saling berkaitan. Salah satunya tercermin
dari hubungan disiplin keilmuan keagamaan dan keilmuan non-keagamaan. Amin
Abdullah menggambarkan hubungan ini secara metaforis mirip-mirip dengan “jaring
laba-laba keilmuan” (Spider web), dimana antar berbagai disiplin yang berbeda
tersebut saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. Yaitu, corak
hubungan antar berbagai disiplin dan metode keilmuan tersebut bercorak
integratif-interkonektif.[45]
Hal itu diperkuat pendapat dari
Holmes Rolston, III. Berikut ini kutipannya :
“The
religion that is married to science today will be a widow tomorrow. The
sciences in their multiple theories and forms come and go. Biology in the year
2050 may be as different from the biology of today as the religion of today is
from the religion of 1850. But the religion that is divorced from science today
will leave no offspring tomorrow. From here onward, no religion can reproduce
itself in succeeding generations unless it has faced the operations of nature
and the claims about human nature with which confronts us. The problem is
somewhat like the one that confonts a living biological species fitting itself
into its niche in the changing environment: There must be a good fit to
survival, and yet overspecialization is an almost certain route to extinction.
Religion that has too thoroughly accomodated to any science will soon be
obsolete. It needs to keep its autonomous integrity and resilience. Yet
religion cannot live without fitting into intellectual world that is its
environment. Here too the fittest survive.”[46]
Menurut Roger Graudy
sebagaimana dikutip Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa teknologi, ilmu dan
manajemen memang membawa kemajuan, tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan
adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari
penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa
iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan
menyelesaikan masalah-masalah modern.[47]
Dari analisa
penulis, ada
beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kebudayaan: Pertama, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan
agama bertentangan satu sama lainnya. Ini artinya keduanya mempunyai hubungan
yang negatif. Kedua, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan agama tidak
bertentangan satu sama lainnya. Artinya hubungan keduanya sifatnya positif. Dan
ketiga, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan agama tidak bertentangan
dan tidak berhubungan atau netral. Dengan kata lain menurut penulis, hubungan
antara ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan agama ada yang bersifat
negatif, positif maupun netral.
Dari sejumlah pendapat di
atas, menurut keyakinan penulis lebih condong ke hubungan positif. Maksudnya ilmu pengetahuan, teknologi,
kebudayaan dan agama bisa terjalin hubungan yang positif dan menguatkan. Ilmu pengetahuan
melahirkan teknologi. Sementara teknologi digunakan oleh manusia. Ilmu
pengetahuan dan teknologi memperkuat dan mengembangkan kebudayaan. Sedangkan
agama dibutuhkan agar manusia tidak tergelincir dalam penyalahgunaan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kebudayaan.
Agama memegang peran vital
dalam membimbimbing tindakan manusia agar tidak tersesat. Ilmu, teknologi dan
kebudayaan tidak bisa diandalkan sebagai “rem” dalam
mengendalikan manusia. Agamalah yang sanggup dan pasti dalam mengendalikan
gerak dan pikiran manusia dalam hidupnya.
Apalagi kita sebagai
Bangsa Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembukaan UUD 1945
dinyatakan bahwa kemerdekaan yang diperoleh Bangsa Indonesia merupakan rahmat
dari Allah SWT. Artinya ada pengakuan bahwa peran agama dalam hal ini agama
Islam bahwa dibalik usaha manusia dalam hal ini ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan, unsur utama justru ada di kekuatan di luar diri manusia yaitu
Tuhan.
Keterpaduan antara ilmu,
teknologi, agama dan kebudayaan menjadi sebuah keniscayaan. Sehingga akhirnya
kebudayaan manusia yang terbentuk menjadi peradaban yang unggul dan kamil
sebagaimana dijanjikan oleh Allah akan terwujud.
E. SIMPULAN
Ilmu
pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science ,
yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata
kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Ilmu
pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang rasional,
sistematik, logis, dan konsisten.
Sementara itu pengertian teknologi
adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi
kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Istilah teknologi berasal dari bahasa Yunani
“technologia” yang menurut Webber Dictionary berarti “systematic
treatment” atau penanganan sesuatu secara sistematis. Sedangkan “techne”
kata dasar teknologi berarti “art, skill, science” atau keahlian,
ketrampilan ilmu.
Dari berbagai definisi di
atas menurut penulis mengartikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem yang
bersifat lahir dan batin yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat.
Sifatnya abstrak jika berkaitan dengan pola pikir. Sementara bersifat konkret
jika sudah merupakan hasil atau produk atau karya manusia.
Agama yaitu bahwa agama
adalah seperangkat keyakinan atau kepercayaan individu maupun kelompok
masyarakat yang digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari baik
sesama manusia, alam dan sang pencipta karena manusia merasa dirinya lemah dan
ada induk kekuatan yang menguasai alam semesta ini (Allah SWT bagi orang
Islam).
Dari sejumlah pendapat
yang dikutip penulis secara umum kesimpulan ada hubungan yang positif antara
iIlmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan agama. Bahkan keempatnya bisa
saling menguatkan satu sama lainnya. Ilmu pengetahuan melahirkan teknologi.
Sementara teknologi digunakan oleh manusia, maka subyek ini membutuhkan agama
agar manusia tidak tergelincir dalam penyalahgunaan teknologi.
Agama memegang peran vital
dalam membimbimbing tindakan manusia agar tidak tersesat. Ilmu, teknologi dan
kebudayaan tidak bisa diandalkan sebagai “rem” dalam
mengendalikan manusia. Agamalah yang sanggup dan pasti dalam mengendalikan
gerak dan pikiran manusia dalam hidupnya.
F. PENUTUP
Atas Hidayah, Inayah,
Taufik dan Ridho dari Allah maka penulis bisa menyelesaikan makalah yang masih
jauh dari kesempurnaan ini. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memperkaya khasanah
pengetahuan serta termasuk amalah sholih yang diterima Allah. Amiin.
[1] http://hadifauzan.blogspot.com/2013/11/alvin-toffler-future-shock-kejutan-masa.html
[5] T. Jacob, Menuju Teknologi Berperikemanusiaan:Pikiran-pikiran tentang
Indonesia Masa Depan, Yayasan Obor : Jakarta, 1995, hal. 5
[6] S. Tjahyadi, Ilmu, Teknologi dan Kebudayaan Dalam Filsafat Ilmu,
Liberty : Yogyakarta, 1996, hal. 125
[7] B.F. Skinner, Science and Human Behavior, The Free Press-Macmillan Publishing Co.inc :
New York, 1965, P. 12
[9]
heru.staff.gunadarma.ac.id/
[10]
Ibid.
[12] Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan
Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam, Pustaka Pelajar
Kerjasama dengan STAIN Kudus : Jogyakarta, cet. I, 2003, hal. 59
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] www.wikipedia.com
[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu;Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan:Jakarta, 2010, hal. 261
[27] Koentjaranigrat. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama. Koentjaranigrat. 1994., hal.2
[29] www.wikipedia.com
[32] Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama (terj. Machnun Husein),
Rajawali: Jakarta, 1992, hal. 24.
[33] www.updatekeren.com
[36] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin:
Jogyakarta, Cetakan ke-IV, 2002, hal. 116
[39]Abdullah, Amin, dkk. 2003. Menyatukan
Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam.
Yogyakarta: SUKA Press, hal. 3
[40]
http://hadifauzan.blogspot.com/2013/11/alvin-toffler-future-shock-kejutan-masa.html
[42] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, Terj. E.R.
Muhammad, Mizan:Bandung, 2002, hal. 47-94.
[43]Syaikh Tantawi Jauhari, Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Modern, Terj.
Muhammadiyah Ja’far, Al-Ikhlas: Surabaya, 1984, hal. 30
[44]
Muzaffar Iqbal, Islam and Science,
Hampshire:Ashgate), P. XV
[45]
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-interkonektif (Pustaka Pelajar : Yogyakarta), 2006,
hal. 107
[46] Holmes Rolston, III, Science and Religion: A Critical
Survey (New York: Random House, Inc., 1987), hal. 1.
[47] Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: epistemologi, Metodologi, dan Etika. Jakarta: Teraju, 2005,
hal 38.